Soal kuliner, Pamulang di Tangerang Selatan, mungkin luput dari perhitungan. Sayang sekali, padahal belakangan banyak penjaja kuliner yang mencoba peruntungannya di kawasan ini. Mulai dari kelas kaki lima hingga resto mulai terlihat berjejal bila kita melewati jalan dekat kawasan Universitas Pamulang hingga jalan raya menuju Pondok Cabe.
Take, menjadi salah satunya. Kedai yang menawarkan makanan Jepang ini justru tak terlihat dari mata jalan raya. Perlu niat sedikit untuk mencari warung makan yang satu ini. Letaknya tak jauh dari Universitas Pamulang, tepatnya di Ruko Pamulang Permai Blok SH12/06.
Pertama kali ke sana, saya sempat bingung, tapi saat bertanya pada orang yang kebetulan berlalu-lalang ternyata banyak yang tahu. Usianya yang sudah menginjak tahun kelima ternyata membuatnya sudah dihafal orang.
Di Take saya bertemu dengan pemiliknya, Yati Mishima. Sebenarnya warung ini adalah milik suaminya yang berkewarganegaraan Jepang. Tetapi kini, Yati yang mengelolanya. Saat tiba, warung makan ini belum terlalu ramai, tapi setengah jam kemudian mulai dipadati pengunjung. “Orang memang lebih suka datang malam, kalau siang biasanya anak sekolah dan kantoran,” ungkap Yati.
Interior Take dapat dikatakan sederhana dan apik. Suasananya klasik, mengingatkan kita pada kedai-kedai Jepang tradisional. Warna cokelat dominan hadir dari meja kayu dan kursi rotannya. Sedang pada kaca, ada sentuhan ornamen pohon bambu berwarna hijau. Di depan warung makan berlantai dua ini, terdapat tiga buah lampion. Merah, kuning dan putih yang sudah terlihat mulai berdebu, tetapi menambah kesan klasik warung ini.
Salah seorang pelayan mengajak saya memilih-milih menu makanan dalam menu. Menunya dapat dikatakan tergolong beragam, mulai dari Sushi, Udon, Bento, Ramen,, Nabe dan makanan-makanan ringan khas Jepang. “Nabe itu biasanya yang familiar kita sebut shabu-shabu. Hanya beda penyebutan di sini,” ujar pelayan yang menjelaskan beberapa menu dalam buku.
Sore itu, saya tertarik mencoba Nabeyaki Udon serta Gyoza sebagai makanan pendamping. “Dua-duanya adalah menu favorit di sini,” ujar pelayan sambil lalu.
Sebenarnya saya juga tertarik dengan menu Ramen, hanya saja karena ukuran porsinya yang besar akhirnya saya urungkan. “Ramen juga favoritnya anak sekolah,” ujar Yati memberitahu.
Aneka ramen di sini, dijual dengan harga yang relatif terjangkau, hanya Rp 19.000. “Rata-rata menu kita memang dikatakan murah oleh orang-orang yang pernah datang,” ungkapnya.
Ya, memang cukup terjangkau, untuk aneka sushi saja dihargai mulai dari Rp 15.000 dan menu set paling mahal Rp 55.000. sedangkan untuk penghilang dahaga favorit adalah ocha. “Ocha dingin paling laris,” ujar Yati. Satu gelas ocha dingin dihargai Rp 8.000. “Kalau pagi, kita ada menu sarapan yaitu Bento. Harganya Rp 10.000,” katanya.
Untuk menu-menu yang dikategorikan sedikit lebih mahal daripada yang lain, ialah Doburi, Nabe dan Udon. “Yang sedikit lebih mahal pun rasanya tak bisa dibilang mahal,” ujar Yati tersenyum, ia memperlihatkan harga pada buku menu. Donburi berkisar mulai dari Rp 27.500, Rp 38.000 untuk Nabe dan Rp 40.000 untuk Udon.
“Udon yang kita pakai memang mahal, kalau yang lain bisa kita kasih murah itu karena bahannya lokal, tapi tetap yang berkualitas dan pastinya segar. Lebih dari seminggu kita buang. Untuk udon ikta tetap harus pesan dari Jepang, pernah buat sendiri ternyata rasanya jauh berbeda,” terangnya.
Hanya butuh waktu 15 menit sela obrolan kami, dua pesanan saya datang. Nabeyaki Udon dihidangkan dalam mangkuk keramik yang tebal. Wangi udang menusuk saat keramik penutup mangkuk dibuka, d atas udon terdapat tempura, terung yang dibelah kipas kemudian digoreng tepung, rumput laut dan sedikit daun bawang. “Kalau suka pedas, bisa ditambah sambal,” ujar Yati.
Udon ini lebih nikmat dimakan saat baru datang agar tempura dan terung goreng tepungnya masih renyah. Sedangkan Gyoza merupakan dumpling bakar isi sayuran yang memiliki rasa unik. Kulitnya berwarna kecokelatan dan kering. Rasanya sedikit garing. Dalam satu porsi, terdapat tiga Gyoza dalam piring, nikmat dimakan dengan tambahan kecap asin. Tak mengecewakan untuk harga yang terjangkau.
“Tenang saja, menu dalam buku sama seperti gambar aslinya. Kami tak akan membohongi pengunjung, gambar dibuat begitu adanya saja seperti porsi dan isi aslinya yang diihiangkan,” tutup Yati.
Sumber :http://travel.kompas.com/read/2014/08/23/104900127/Ini.Dia.Warung.Jepang.Rumahan.di.Pamulang